APA yang terlintas di benak Anda setiap orang
-khususnya Semarang- menyebut Sunan Kuning? Lokalisasi di area
Kalibanteng itukah? Saya berani menjamin jawabannya pasti “Ya”. Namun
tahukah Anda jika Sunan Kuning yang saya maksud, memiliki peran besar
dalam perjalanan sejarah bangsa?
Sunan Kuning, yang menjadi nama alias dari Raden Mas Garendi, merupakan cucu raja Amangkurat III dari Mataram. Tahun 1742, saat dia berumur 12 tahun, dia diangkat sebagai raja Mataram oleh pemberontak yang menantang kekuasaan Susuhunan Pakubuwana II. Ia pun digelari sebagai “Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama”.
Nama “Sunan Kuning” diperoleh dari kata “cun ling” (bangsawan tertinggi). Raden Mas Garendi merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743). Ia bersama dengan Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.
Kiprahnya sebagai seorang pemimpin yang mau turun dari tahta dan turut berjuang bersama rakyat Tionghoa menjadikannya dijuluki sebagai “Raja orang Jawa dan Tionghoa”.
Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742 setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Sunan Kuning bertahta di Kartasura, ibukota kerajaan Mataram, terhitung sejak 1 Juli 1742. Empat bulan sesudahnya, tampuk pemerintahan Sunan Kuning diserang dari berbagai penjuru. Sunan Kuning pun meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa.
Akhir dari perjalanan Sunan Kuning terjadi pada September 1743. ia menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul oleh banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, kemudian diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka).
Sumber riwayat Semarang menyebutkan bahwa Sunan Kuning dimakamkan di bagian barat kota, tepatnya di wilayah Kalibanteng Kulon, di atas sebuah bukit. Di sekitar makam Sunan Kuning, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran. Konon, makam Sunan Kuning pertama kali ditemukan oleh Mbah Bayat Saribin.
Menurut kisah yang diperoleh dari juru kunci makam, para peziarah yang memiliki hajat khusus, datang pada hari-hari tertentu. Seperti malam Selasa Kliwon, Rebo Legi dan Kamis Pahing untuk meminta pengasihan. Malam Rabu Pon, Kamis Wage dan Jum’at Pon untuk meminta kekuatan. Hari Kamis Legi, Jum’at Kliwon, Sabtu Legi untuk berdoa minta kenaikan pangkat atau derajat. Malam Sabtu Kliwon, Minggu Legi, Senin Paing untuk rezeki, sandang pangan atau nomor. Sedangkan Jum’at Paing, Sabtu Pon, Minggu Wage untuk puter giling.
Riwayat Lain Tentang Sunan Kuning
Selain riwayat tentang Raden Mas Garendi yang dijuluki Sunan Kuning, masih ada riwayat lain tentang siapa sosok Sunan Kuning yang dimakamkan di pemakaman Tepis Wiring, Kelurahan Kalibanteng Kulon itu.
Adalah seorang Muslim Tionghoa bernama Soen An Ing yang bermukim di Argorejo sekitar tahun 1600. Selain menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, Soen An Ing juga dikenal karena kemampuannya dalam mengobati penyakit.
Hingga akhir hayatnya, Soen An Ing menetap di tempat tersebut. Kesulitan lidah masyarakat Semarang dalam menyebut Soen An Ing menjadikan nama beliau disebut dengan julukan “Sunan Kuning”.
sumber : berita.suaramerdeka.com
Sunan Kuning, yang menjadi nama alias dari Raden Mas Garendi, merupakan cucu raja Amangkurat III dari Mataram. Tahun 1742, saat dia berumur 12 tahun, dia diangkat sebagai raja Mataram oleh pemberontak yang menantang kekuasaan Susuhunan Pakubuwana II. Ia pun digelari sebagai “Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama”.
Nama “Sunan Kuning” diperoleh dari kata “cun ling” (bangsawan tertinggi). Raden Mas Garendi merupakan salah satu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743). Ia bersama dengan Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawanan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara.
Kiprahnya sebagai seorang pemimpin yang mau turun dari tahta dan turut berjuang bersama rakyat Tionghoa menjadikannya dijuluki sebagai “Raja orang Jawa dan Tionghoa”.
Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742 setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Sunan Kuning bertahta di Kartasura, ibukota kerajaan Mataram, terhitung sejak 1 Juli 1742. Empat bulan sesudahnya, tampuk pemerintahan Sunan Kuning diserang dari berbagai penjuru. Sunan Kuning pun meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa.
Akhir dari perjalanan Sunan Kuning terjadi pada September 1743. ia menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul oleh banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, kemudian diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka).
Sumber riwayat Semarang menyebutkan bahwa Sunan Kuning dimakamkan di bagian barat kota, tepatnya di wilayah Kalibanteng Kulon, di atas sebuah bukit. Di sekitar makam Sunan Kuning, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran. Konon, makam Sunan Kuning pertama kali ditemukan oleh Mbah Bayat Saribin.
Menurut kisah yang diperoleh dari juru kunci makam, para peziarah yang memiliki hajat khusus, datang pada hari-hari tertentu. Seperti malam Selasa Kliwon, Rebo Legi dan Kamis Pahing untuk meminta pengasihan. Malam Rabu Pon, Kamis Wage dan Jum’at Pon untuk meminta kekuatan. Hari Kamis Legi, Jum’at Kliwon, Sabtu Legi untuk berdoa minta kenaikan pangkat atau derajat. Malam Sabtu Kliwon, Minggu Legi, Senin Paing untuk rezeki, sandang pangan atau nomor. Sedangkan Jum’at Paing, Sabtu Pon, Minggu Wage untuk puter giling.
Riwayat Lain Tentang Sunan Kuning
Selain riwayat tentang Raden Mas Garendi yang dijuluki Sunan Kuning, masih ada riwayat lain tentang siapa sosok Sunan Kuning yang dimakamkan di pemakaman Tepis Wiring, Kelurahan Kalibanteng Kulon itu.
Adalah seorang Muslim Tionghoa bernama Soen An Ing yang bermukim di Argorejo sekitar tahun 1600. Selain menyebarkan agama Islam di tanah Jawa, Soen An Ing juga dikenal karena kemampuannya dalam mengobati penyakit.
Hingga akhir hayatnya, Soen An Ing menetap di tempat tersebut. Kesulitan lidah masyarakat Semarang dalam menyebut Soen An Ing menjadikan nama beliau disebut dengan julukan “Sunan Kuning”.
sumber : berita.suaramerdeka.com